Jumat, 02 November 2007
Adakah Islam Berbicara Pajak?
Pendahuluan
Dalam perjalanan sebuah Negara tidak terlepas dari sebuah tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara (sesuai dengan pembukaan UUD 1945) adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi abadi dan keadilan social. Adapun untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut tentunya harus ada partispasi dan peran aktif dari mesyarakat sebagai objek dalam pencapaian tujuan tersebut. Tetapi jika partisipasi dan ruang public rakyat tertutup bnahkan tersumbat, maka pencapaian tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera sulit untu dicapai.
Negara modern diikat oleh berbagai perjanjian yang dibangun sebagai syarat terciptanya social, ekonomi, politik, dan hukum dalam suatu Negara yang beradab[1]. Dengan memakai cara berpikir yang lazim, bahwa Negara bisa ada karena ada rakyat dan rakyat sendiri membutuhkan pemimpin (Negara) untuk mengatur kelangsungan hidup bersama agar beradab. Dalam hal inilah, pajak menjadi media yang menghubungkan antara kepentingan Negara dengan rakyat dan pajak menjadi syarat lain bagi terciptanya antara Negara dan rakyat. Rakyat membayar pajak kepada Negara dan sebagai imbalan jasa yang diperoleh rakyat, terutama golongan kaya yang membayar pajak lebih banyak berupa perlindungan atas segala kepentingan umum, dengan mewajibkan untuk mengadakan perjanjian perlindungan wajib antara Negara dengan warganya dan Negara memperoleh modal untuk membiayai proyek social kemnanusiannya.
Dalam pengelolaan Negara, pajak menjadi sumber pembiayaan Negara terutama membiayai proyek-proyek social, sebab tanpa adanya kontribusi real dari rakyat, Negara juga tidak akan bisa menyukseskan agenda kerja pemerintahan yang telah diprogramkan. Dalam urusan bernegara, pajak mempunyai peran yang sangat penting, sebab dengan pajaklah distribusi keadilan social dapat terwujud. Negara dengan pajak akan dapat mengurangi tingkat kecemburuan social warga Negara yang tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang memadai.
Pajak bagaikan urat nadi bagi sebuah Negara, sebab dalam hal ini pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Kerelaan rakyat membayar pajak sesungguhnya merupakan bagian dari komitmen rakyat untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan social dalam masyarakat. Pada prinsipnya kehidupan ini telah diciptakan Allah SWT secara seimbang, ada laki-laki dan ada perempuan, ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang lemah dan ada yang kuat. Maka dari itu Negara mempunyai peran sebagai fasilitator antara kalangan yang memiliki kekayaan dengan yang tidak guna meminimalisir kecemburuan social antara kaum berlebih dengan golongan yang serba kekurangan. Dalam konteks pemerataan itulah, kekayaan dikenakan pajak.
Tentu patut disambut dengan baik adanya pajak ini, karena pada dasarnya apa yang kita keluarkan sebagai pajak tiada lain adalah untuk kesejahteraan hidup masyarakat sendiri. Walaupun secara real dengan mengeluarkan pajak belum tentu masyarakat mendapatkan jasa timbal (kontra-prestasi)[2]. Dalam konteks Negara Indonesia yang notabene penduduknya adalah umat Islam, pajak tentunya menjadi sebuah problem tersendiri bagi mereka. Disatu sisi dalam ajaran Islam sendiri ada sebuah konsep yang jauh lebih baik dalam rangka pencapaian kesejateraan hidup umat manusia pada umumnya, juga merupakan alternative dalam pendistribusian kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin, yaitu zakat.
Pada dasarnya kedua hal tersebut, yakni anatara pajak dengan zakat mempunyai satu tujuan yang sama yaitu mencita-citakan sebuah tatanan kehidupan yang layak dan sejahtera. Tetapi, pada hakekatnya, kedua hal tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan. Dalam pandangan umat Islam, zakat bersifat abadi, akan tetap ada dan tidak ada satu penguasa pun yang dapat mengahpusnya, karena zakat merupakan perintah dari Allah SWT. Sementara pajak tidak bersifat abadi, dapat dinaikkan dan diturunkan, bahkan dapat dihapuskan tergantung pada penguasanya. Karena pajak merupakan sebuah aturan yang ditetapkan oleh manusia.
Memang sulit melaksanakan dua aturan yang mempunyai tujuan yang sama, tetapi pada hakekatnya berbeda. Disatu sisi zakat adalah sebuah pengabdian kepada Allah yang tidak dapat ditinggalkan, disisi lain pajak merupakan aturan dari pemerintah yang harus dilaksanakan, karena jika tidak dilaksanakan akan mendapatkan sanksi dari pemerintah.
Adakah Islam berbicara masalah pajak? Apakah memang pajak diwajibkan bagi umat Islam? Lantas posisi zakat dalam kaitan ini dimana? Selanjutnya, tulisan yang sangat sederhana ini akan sedikit memaparkan beberapa hal yang berkenaan dengan masalah pajak, terutama mengenai masalah pajak yang dikaitkan dengan agama Islam. Sudah menjadi keharusan jika mengaitkan sesuatu dengan Islam, tentunya tidaka akan terlepas dari al-Qur’an dan Hadis sebagai landasan berpijak agama Islam. Dan tulisan ini pun akan dikutif beberapa pendapat ulama yang menjelaskan mengenai pajak yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadis.

Catatan :
[1] Hidayat Nurwahid, Mencari keadilan Politik Melalui Pajak, pengantar pada buku Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara karya Edi Slamet Irianto dan Syarifudin Jurdi, hal:xix
[2] Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, seperti yang dikutif oleh Santoso Brotodihardjo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, hal:6.
posted by ermoends @ 08.51  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me


Name: ermoends
Home: jogja, Indonesia
About Me: "Dunia adalah titik awal sebuah perubahan"
See my complete profile

Previous Post
Archives
omong-omong

  • Free shoutbox @ ShoutMix
  •