Jumat, 02 November 2007
Adakah Pajak Dalam Islam?
Setelah dijelaskan di muka beberapa hal yang berkenaan dengan pajak, maka inti dari makalah ini adalah pembahasan pajak ditinjau dari ajaran agama Islam. Apakah Islam membolehkan umatnya membayar pajak kepada negaranya? Ataukah Islam melarang umatnya untuk membayar pajak kepada Negara, karena dalam Islam sendiri sudah ada sebuah kewajiban yang dibebankan kepada umatnya yaitu zakat?
Pajak secara etimologi diambil dari kata dharaba, yang artinya utang, pajak tanah (upeti) dan sebagainya[1]. Yaitu sesuatu yang harus dibayar oleh masyarakat, yang menjadi beban bagi masyarakat. Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT: “Dan ditimpakan atas mereka kehinaan dan kemiskinan”[2]. Dengan demikian, maka pajak dipandang sebagai paksaan dan beban yang sangat memberatkan. Pada masa Rasulullah SAW, pemerintahan Islam memungut jizyah (pajak tanah atau upeti) dari ahli dzimmah (orang yang tetap dalam keadaan kafir, tetapi tunduk kepada aturan yang ditetapkan oleh pemerintahan Islam)[3]. Hal ini disandarkan kepada Firman Allah SWT, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulullah, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk”[4].
Pajak (jizyah) ini adalah merupakan kontra-prestasi antara rakyat sebagai pembayar pajak, terutama yang kuat, dengan pihak penguasa sebagai fiskus (pemungut pajak).
Masdar F. Mas’udi dalam makalahnya yang berjudul Etika Pajak dan Belanja Negara Untuk Rakyat[5], menyebutkan bahwa terdapat tiga konsep yang pernah diberikan kepada pranata pajak, atau dengan kata lain pendapat yang dikemukakannya merupakan evolusi dari pajak. Pertama, pajak dengan konsep upeti atau persembahan kepada raja, atau elite penguasa. Pajak dalam konsep upeti ini berlaku ketika jaman feudal raja-raja, dimana Negara sepenuhnya tunduk kepada kepentingan raja yang berkuasa pada saat itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa, pajak pada saat itu merupakan bentuk ekploitasi penguasa kepada rakyatnya.
Kedua, pajak dengan konsep kontra-prestasi (dalam al-Qur’an: jizyah) antar rakyat sebagai pembayar pajak, terutama yang kuat, dengan penguasa. Konsep yang kedua ini, menurutnya merupakan konsep yang dipakai oleh berbagai Negara dimana pun yang memungut pajak dari rakyatnya, yang merupakan salah satu sumber pendapatan Negara dewasa ini.
Ketiga, pajak dengan konsep zakat, yakni pajak sebagai sedekah karena Allah yang diamanatkan kepada Negara untuk kemaslahatan segenap rakyat, terutama yang lemah, tanpa melihat status, agama, ataupun golongan. Karena pada dasarnya Islam datang sebagai Rahmatan lil ‘alamin, tidak fanatic golongan[6].
Pajak merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin di luar zakat, hal ini merupakan cerminan dari firman Allah SWT: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”[7]
Imam al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas pada kalimat "memberikan harta yang dicintainya" seperti yang dikutif oleh Didin Hafidhuddin dalam bukunya zakat dalam perekonomian modern[8], yaitu bahwa para ulama telah sepakat, jika kaum muslimin memiliki berbagai kebutuhan dan keperluan yang harus ditanggulangi. Terkait dengan ayat ini, Turmuzi dan perawi lain meriwayatkan, dari Fatimah bint Qais, ia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang zakat. Beliau menjawab, sesungguhnya dalam harta ada kewajiban selain zakat[9] (ان في المال لحقا سوى الزكاة).
Ada beberapa alasan pajak diperbolehkan dalam Islam, yaitu:
1. Karena jaminan/solidaritas social yang merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi antar sesame kaum muslimin. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”[10].
2. Sasaran zakat itu terbatas, sedangkan pembiayaan Negara banyak sekali.
3. Perintah dari ulil amri (pemerintah) wajib ditaati selama mereka menyuruh pada kebaikan dan ketaatan serta kemaslahatan bersama. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”[11].
Ada beberapa syarat yang wajib dibayarkan dalam pajak, yaitu:
1. Harta yang digunakan untuk membayar pajak memang sangat dibutuhkan oleh Negara, dan tidak ada sumber lain yang dapat diperoleh pemerintah untuk menanggulangi masalah keuangan yang dihadapi kecuali dengan pajak.
2. Pembagian beban pajak yang adil. Artinya, pajak yang dibebankan atas pertimbangan ekonomi dan social, sehingga besarnya pungutan pajak tidak disamaratakan.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. Sekalipun Islam menganjurkan untuk membayar pajak, maka sesuai dengan syarat diatas dana pajak tersebut harus dipergunakan untuk kepentingan masyarakat umum yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Apabila pajak dipergunakan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka Islam tidak diwajibkan untuk membayar pajak.

Catatan:
[1] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hal: 1001.
[2] Q.S. Al-Baqarah: 61.
[3] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal: 56.
[4] Q.S. At-Taubah: 29
[5] Masdar F. Mas’udi, “Zakat: Etika Pajak dan Belanja Negara Untuk Rakyat”, makalah pada Seminar Nasional Reformasi Pengelolaan Pajak dan Zakat: Peluang Integrasi dan Tantangan Terkini, Yogyakarta, November 2006.
[6] Q.S. Al-Anbiya: 107.
[7] Q.S. Al-Baqarah: 177.
[8]Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal: 62.
[9] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hal: 974.
[10] Q.S. Al-Maidah: 2
[11] Q.S. An-Nisa: 59
posted by ermoends @ 09.23  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me


Name: ermoends
Home: jogja, Indonesia
About Me: "Dunia adalah titik awal sebuah perubahan"
See my complete profile

Previous Post
Archives
omong-omong

  • Free shoutbox @ ShoutMix
  •