Minggu, 04 November 2007
ForSEI Motiva Tour 2007: Gerak Tanpa Henti
Kini musim berganti, musim penghujan pun datang untuk menyampaikan rahman & rahiem-Nya. November ini begitu banyak agenda yang hendak yang digulirkan leh Forum Studi Ekonomi Islam (ForSEI) UIN SUKA Jogja. Dari sekian banyak agenda, salah satunya adalah ForSEI Motiva Tour 2007 yang Insya Allah akan dilaksnakan pada tanggal 10 November 2007 bertempat di Agro Wisata Salak Pondoh Turi Sleman.
Awalnya agenda ini hanya sebagai agenda rutin ForSEI yang dilaksanakan tiap tahun pada bulan Syawal, kalau dulu dinamakan Syawalan, untuk periode kepengurusan sekarang sengaja dibuat beda, didesain semenarik mungkin. Sebagai sebuah forum studi, ForSEI menginginkan adanya pembelajaran dari setiap agenda yang diadakan. Jangan sampai agenda tersebut hanya bersifat hura-hura belaka, tana mendatangkan manfaat bagi kader ForSEI khususnya & masyarakat pada umunya.
ForSEI Motiva Tour 2007 ini meliputi 3 agenda, yakni: Syawalan, Silaturahmi Kader ForSEI seluruh angkatan, & Achievment Motivation Training. Sebuah harapan besar yang melahirkan gagasan adanya acara ini adalah terjalinnya ukhuwah diantara semua kader ForSEI dari semua angkatan.
Mengapa 10 November.....?
Salah satu alasan hari pelaksanaannya 10 November 2007 adalah memang pada hari itu adalah hari yang "aman" bagi ForSEI, karena di kampus UIN pada tanggal 29 Okt - 9 Nov merupakan masa-masa ujian mid semester. So... ForSEI gak ingin aktivitas belajar kader terganggu gara-gara sebuah agenda. ForSEI adalah sebuah forum studi, so harus mendukung segala aktivitas pembelajaran di kamus.
Acara ini tidak ada kaitannya dengan hari pahlawan lho, bukan dalam rangka memperangati hari pahlawan. Yang jelas ini adalah murni agenda ForSEI, tapi kalaupun mau dihubung-hubungkan sama hari pahlawan sih gak apa-apa asalkan itu mendatangkan manfaat bagi kader ForSEI dam bisa mebangkitkan kita semua untuk memperjuangkan ekonomi Islam, seperti halnya para pahlawan yang tanpa kenal lelah mengahabiskan seluruh waktu & hartanya demi terwujudnya Indonesia merdeka. Begitupun ForSEI menginginkan dari setiap diri kader, terdapat ghirah untuk memperjuangkan dan membumikan ekonomi Islam di bumi Indonesia tercinta ini.
Agenda ForSEI ke depan....?
Insya Allah dalam periode kepengurusan yang sekarang ini ForSEI punya banyak agenda. Untuk bulan Novemeber-Desember ini, ada beberaa agenda, yaitu:
  • SKaF (Sekolah Kader ForSEI) & CS (Circle Study), yang wajib diikuti oleh seluruh kader ForSEI angkatan baru. Insya Allah akan dilaunching pada selasa, 13 November 2007.
  • Silaturrahmi Eksternal, ke berbagai instansi yang berkaitan erat dengan ekonomi Islam.
  • Monthly Discussion, diskusi bulanan ekonomi Islam.
  • Training Pembuatan Blog.

Mungkin agenda-agenda diatas hanya sekedar gambaran mengenai agenda ForSEI. Insya Allah agenda ForSEI tida akan sia-sia. Wallahu a'lam bishshawwab.

posted by ermoends @ 09.04   0 comments
Pekan yang melelahkan. Hari-hari terasa menusuk-nusuk seluruh tulang rusukku, spertinya akan memberi firasat akan datang penyakit. Namun, kujalani aja waktu dengan enjoy. yang jelas aktivitasku pekan ini jangan sampai ada waktu yang terbuang, walaupun itu hanya sedetik. Jadi teringat perkataan Miranda S. Guoltom ketika dia berbicara sebagai keynote speaker di seminar knowledge management di MM UGM pada tanggal 29 Okt '07, bahwa knowledge management is about process. Selanjutnya, dia berkata bahwa knowledge management meliputi Learning, Sharing, & Innovative.
Mengingat ceramah tersebut, aku sedikit punya kesimpulan memang untuk menjalani kehidupan ini knowledge management sangat diperlukan. Terutama dalam rangka meningkatkan derajat & taraf hidup kita sebagai makhluk yang mempunyai akal, yang dalam ilmu mantik dibahasakan bahwa, al-insaanu hayawanu an-naatiq.
Perubahan adalah sesuatu yang sangat kita butuhkan, sebab kalau kita terus stagnan tentu akan tertinggal jauh dari orang (bangsa) lain yang lebih maju. Tentu inilah yang kemungkinan bahwa sebagai manusia yang berakal, kita memerlukan knowledge management dalam diri kita masing-masing. Hanya orang-orang berkemauan keras, berusaha & selalu berdo'alah yang akan muncul sebagai pemenang. Ingat, kita lahir ke dunia ini tidak mudah, kita sudah mengalahkan saudara-saudara "calon manusia". Artinya kalau sejak masih menjadi gen X/Y kita bisa hadir sebagai pemenang, mengapa tidak untuk sekarang lebih memunculkan lagi diri, sebagai the winner yang sesungguhnya.
Indah rasanya kalau kita memiliki pengetahuan yang luas & mengamalkannya. Jangan sampai ilmu yang kita punyai terbuang begitu saja, ilmu tanpa aplikasi akan menyebabkan kita terasa menjadi orang bodoh. Kita hidup di zaman yang serba mudah & cepat, artinya kita pun harus menjadi orang yang dapat beradaptasi dengan zaman yang kita hadapi ini.
Mungkin ini, hanya sedikit catatan sebagai obat yang bisa memotivasi aku untuk tetap maju pantang mundur menjalani hidup ini, para pahlawan aza bisa kenapa aku gak bisa Betul....???
posted by ermoends @ 08.12   0 comments
Jumat, 02 November 2007
Adakah Pajak Dalam Islam?
Setelah dijelaskan di muka beberapa hal yang berkenaan dengan pajak, maka inti dari makalah ini adalah pembahasan pajak ditinjau dari ajaran agama Islam. Apakah Islam membolehkan umatnya membayar pajak kepada negaranya? Ataukah Islam melarang umatnya untuk membayar pajak kepada Negara, karena dalam Islam sendiri sudah ada sebuah kewajiban yang dibebankan kepada umatnya yaitu zakat?
Pajak secara etimologi diambil dari kata dharaba, yang artinya utang, pajak tanah (upeti) dan sebagainya[1]. Yaitu sesuatu yang harus dibayar oleh masyarakat, yang menjadi beban bagi masyarakat. Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT: “Dan ditimpakan atas mereka kehinaan dan kemiskinan”[2]. Dengan demikian, maka pajak dipandang sebagai paksaan dan beban yang sangat memberatkan. Pada masa Rasulullah SAW, pemerintahan Islam memungut jizyah (pajak tanah atau upeti) dari ahli dzimmah (orang yang tetap dalam keadaan kafir, tetapi tunduk kepada aturan yang ditetapkan oleh pemerintahan Islam)[3]. Hal ini disandarkan kepada Firman Allah SWT, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulullah, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk”[4].
Pajak (jizyah) ini adalah merupakan kontra-prestasi antara rakyat sebagai pembayar pajak, terutama yang kuat, dengan pihak penguasa sebagai fiskus (pemungut pajak).
Masdar F. Mas’udi dalam makalahnya yang berjudul Etika Pajak dan Belanja Negara Untuk Rakyat[5], menyebutkan bahwa terdapat tiga konsep yang pernah diberikan kepada pranata pajak, atau dengan kata lain pendapat yang dikemukakannya merupakan evolusi dari pajak. Pertama, pajak dengan konsep upeti atau persembahan kepada raja, atau elite penguasa. Pajak dalam konsep upeti ini berlaku ketika jaman feudal raja-raja, dimana Negara sepenuhnya tunduk kepada kepentingan raja yang berkuasa pada saat itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa, pajak pada saat itu merupakan bentuk ekploitasi penguasa kepada rakyatnya.
Kedua, pajak dengan konsep kontra-prestasi (dalam al-Qur’an: jizyah) antar rakyat sebagai pembayar pajak, terutama yang kuat, dengan penguasa. Konsep yang kedua ini, menurutnya merupakan konsep yang dipakai oleh berbagai Negara dimana pun yang memungut pajak dari rakyatnya, yang merupakan salah satu sumber pendapatan Negara dewasa ini.
Ketiga, pajak dengan konsep zakat, yakni pajak sebagai sedekah karena Allah yang diamanatkan kepada Negara untuk kemaslahatan segenap rakyat, terutama yang lemah, tanpa melihat status, agama, ataupun golongan. Karena pada dasarnya Islam datang sebagai Rahmatan lil ‘alamin, tidak fanatic golongan[6].
Pajak merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin di luar zakat, hal ini merupakan cerminan dari firman Allah SWT: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”[7]
Imam al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas pada kalimat "memberikan harta yang dicintainya" seperti yang dikutif oleh Didin Hafidhuddin dalam bukunya zakat dalam perekonomian modern[8], yaitu bahwa para ulama telah sepakat, jika kaum muslimin memiliki berbagai kebutuhan dan keperluan yang harus ditanggulangi. Terkait dengan ayat ini, Turmuzi dan perawi lain meriwayatkan, dari Fatimah bint Qais, ia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang zakat. Beliau menjawab, sesungguhnya dalam harta ada kewajiban selain zakat[9] (ان في المال لحقا سوى الزكاة).
Ada beberapa alasan pajak diperbolehkan dalam Islam, yaitu:
1. Karena jaminan/solidaritas social yang merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi antar sesame kaum muslimin. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”[10].
2. Sasaran zakat itu terbatas, sedangkan pembiayaan Negara banyak sekali.
3. Perintah dari ulil amri (pemerintah) wajib ditaati selama mereka menyuruh pada kebaikan dan ketaatan serta kemaslahatan bersama. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”[11].
Ada beberapa syarat yang wajib dibayarkan dalam pajak, yaitu:
1. Harta yang digunakan untuk membayar pajak memang sangat dibutuhkan oleh Negara, dan tidak ada sumber lain yang dapat diperoleh pemerintah untuk menanggulangi masalah keuangan yang dihadapi kecuali dengan pajak.
2. Pembagian beban pajak yang adil. Artinya, pajak yang dibebankan atas pertimbangan ekonomi dan social, sehingga besarnya pungutan pajak tidak disamaratakan.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. Sekalipun Islam menganjurkan untuk membayar pajak, maka sesuai dengan syarat diatas dana pajak tersebut harus dipergunakan untuk kepentingan masyarakat umum yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Apabila pajak dipergunakan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka Islam tidak diwajibkan untuk membayar pajak.

Catatan:
[1] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hal: 1001.
[2] Q.S. Al-Baqarah: 61.
[3] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal: 56.
[4] Q.S. At-Taubah: 29
[5] Masdar F. Mas’udi, “Zakat: Etika Pajak dan Belanja Negara Untuk Rakyat”, makalah pada Seminar Nasional Reformasi Pengelolaan Pajak dan Zakat: Peluang Integrasi dan Tantangan Terkini, Yogyakarta, November 2006.
[6] Q.S. Al-Anbiya: 107.
[7] Q.S. Al-Baqarah: 177.
[8]Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal: 62.
[9] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hal: 974.
[10] Q.S. Al-Maidah: 2
[11] Q.S. An-Nisa: 59
posted by ermoends @ 09.23   0 comments
Adakah Islam Berbicara Pajak?
Pendahuluan
Dalam perjalanan sebuah Negara tidak terlepas dari sebuah tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara (sesuai dengan pembukaan UUD 1945) adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi abadi dan keadilan social. Adapun untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut tentunya harus ada partispasi dan peran aktif dari mesyarakat sebagai objek dalam pencapaian tujuan tersebut. Tetapi jika partisipasi dan ruang public rakyat tertutup bnahkan tersumbat, maka pencapaian tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera sulit untu dicapai.
Negara modern diikat oleh berbagai perjanjian yang dibangun sebagai syarat terciptanya social, ekonomi, politik, dan hukum dalam suatu Negara yang beradab[1]. Dengan memakai cara berpikir yang lazim, bahwa Negara bisa ada karena ada rakyat dan rakyat sendiri membutuhkan pemimpin (Negara) untuk mengatur kelangsungan hidup bersama agar beradab. Dalam hal inilah, pajak menjadi media yang menghubungkan antara kepentingan Negara dengan rakyat dan pajak menjadi syarat lain bagi terciptanya antara Negara dan rakyat. Rakyat membayar pajak kepada Negara dan sebagai imbalan jasa yang diperoleh rakyat, terutama golongan kaya yang membayar pajak lebih banyak berupa perlindungan atas segala kepentingan umum, dengan mewajibkan untuk mengadakan perjanjian perlindungan wajib antara Negara dengan warganya dan Negara memperoleh modal untuk membiayai proyek social kemnanusiannya.
Dalam pengelolaan Negara, pajak menjadi sumber pembiayaan Negara terutama membiayai proyek-proyek social, sebab tanpa adanya kontribusi real dari rakyat, Negara juga tidak akan bisa menyukseskan agenda kerja pemerintahan yang telah diprogramkan. Dalam urusan bernegara, pajak mempunyai peran yang sangat penting, sebab dengan pajaklah distribusi keadilan social dapat terwujud. Negara dengan pajak akan dapat mengurangi tingkat kecemburuan social warga Negara yang tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang memadai.
Pajak bagaikan urat nadi bagi sebuah Negara, sebab dalam hal ini pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Kerelaan rakyat membayar pajak sesungguhnya merupakan bagian dari komitmen rakyat untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan social dalam masyarakat. Pada prinsipnya kehidupan ini telah diciptakan Allah SWT secara seimbang, ada laki-laki dan ada perempuan, ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang lemah dan ada yang kuat. Maka dari itu Negara mempunyai peran sebagai fasilitator antara kalangan yang memiliki kekayaan dengan yang tidak guna meminimalisir kecemburuan social antara kaum berlebih dengan golongan yang serba kekurangan. Dalam konteks pemerataan itulah, kekayaan dikenakan pajak.
Tentu patut disambut dengan baik adanya pajak ini, karena pada dasarnya apa yang kita keluarkan sebagai pajak tiada lain adalah untuk kesejahteraan hidup masyarakat sendiri. Walaupun secara real dengan mengeluarkan pajak belum tentu masyarakat mendapatkan jasa timbal (kontra-prestasi)[2]. Dalam konteks Negara Indonesia yang notabene penduduknya adalah umat Islam, pajak tentunya menjadi sebuah problem tersendiri bagi mereka. Disatu sisi dalam ajaran Islam sendiri ada sebuah konsep yang jauh lebih baik dalam rangka pencapaian kesejateraan hidup umat manusia pada umumnya, juga merupakan alternative dalam pendistribusian kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin, yaitu zakat.
Pada dasarnya kedua hal tersebut, yakni anatara pajak dengan zakat mempunyai satu tujuan yang sama yaitu mencita-citakan sebuah tatanan kehidupan yang layak dan sejahtera. Tetapi, pada hakekatnya, kedua hal tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan. Dalam pandangan umat Islam, zakat bersifat abadi, akan tetap ada dan tidak ada satu penguasa pun yang dapat mengahpusnya, karena zakat merupakan perintah dari Allah SWT. Sementara pajak tidak bersifat abadi, dapat dinaikkan dan diturunkan, bahkan dapat dihapuskan tergantung pada penguasanya. Karena pajak merupakan sebuah aturan yang ditetapkan oleh manusia.
Memang sulit melaksanakan dua aturan yang mempunyai tujuan yang sama, tetapi pada hakekatnya berbeda. Disatu sisi zakat adalah sebuah pengabdian kepada Allah yang tidak dapat ditinggalkan, disisi lain pajak merupakan aturan dari pemerintah yang harus dilaksanakan, karena jika tidak dilaksanakan akan mendapatkan sanksi dari pemerintah.
Adakah Islam berbicara masalah pajak? Apakah memang pajak diwajibkan bagi umat Islam? Lantas posisi zakat dalam kaitan ini dimana? Selanjutnya, tulisan yang sangat sederhana ini akan sedikit memaparkan beberapa hal yang berkenaan dengan masalah pajak, terutama mengenai masalah pajak yang dikaitkan dengan agama Islam. Sudah menjadi keharusan jika mengaitkan sesuatu dengan Islam, tentunya tidaka akan terlepas dari al-Qur’an dan Hadis sebagai landasan berpijak agama Islam. Dan tulisan ini pun akan dikutif beberapa pendapat ulama yang menjelaskan mengenai pajak yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadis.

Catatan :
[1] Hidayat Nurwahid, Mencari keadilan Politik Melalui Pajak, pengantar pada buku Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara karya Edi Slamet Irianto dan Syarifudin Jurdi, hal:xix
[2] Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, seperti yang dikutif oleh Santoso Brotodihardjo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, hal:6.
posted by ermoends @ 08.51   0 comments
About Me


Name: ermoends
Home: jogja, Indonesia
About Me: "Dunia adalah titik awal sebuah perubahan"
See my complete profile

Previous Post
Archives
omong-omong

  • Free shoutbox @ ShoutMix
  •